biografi dan karya Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani





Image result for syamsuddin al sumatrani

BAB I
A.    Latar Belakang Masalah
Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani adalah seorang keturunan ulama, ayahnya bernama Abdullah As-Sumatrani. Dia mendapat pendidikan kesufian dari Syeikh Hamzah Al Fansuri dan kemudian dikatakan pernah belajar kepada Sunan Bonang di Jawa. Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan tokoh yang cukup berpengaruh di kalangan istana Kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 M, dan menjadi qadhi kerajaan. Ia diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1603-1636 M).
Banyak hal di sekitar Syamsuddin as-Sumatrani yang belum jelas, tidak diketahui di mana dan kapan ia di lahirkan, tidak diketahui di mana ia belajar di masa kecil dan dewasa, tidak diketahui siapa saja guru-gurunya, juga tidak diketahui dimana ia berkubur. Bedasarkan sebutan al-Sumatrani pada nama-nama yang disebutkan dalam naskah-naskah, para peneliti berpendapat bahwa ia berasal dari pasai (Samudra Pasai).
Mengenai wafatnya Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri menyebutkan dalam karya tulis yang berjudul Bustân al-Salatin, dalam kaitan dengan kekalahan pasukan Aceh ketika menyerang Malaka. Disebutkan:
“Maka dititahkan sultan, Orang Kaya Maha Raja Sri Maha Raja dan Orang Kaya Laksamana menyerang Malaka tatkala Hijrah seribu tiga puluh delapan tahun, tetapi tiada alah karena berbantah dua orang panglima itu. Ketika itulah segala orang Islam banyak mati syahid. Syahdan pada masa itulah wafat al-Syaikh Syamsuddin ibn Abdullah as-Sumatrani pada malam Itsnayn dua belas hari bulan Rajab pada Hijrah seribu tiga puluh sembilan tahun. Adalah syaikh itu alim pada segala ilmu dan ialah yang termasyhur pengetahuannya pada ilmu tasawuf dan beberapa kitab yang ditulisnya.” Menurut ahli sejarah, serangan Aceh ke Malaka yang gagal itu terjadi pada November 1629, sedangkan târikh wafatnya Syamsuddin as-Sumatrani itu bertepatan dengan 24 Februari 1630 M.
Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani mendapat tempat pada posisi yang terbaik di kerajaan Aceh, dia dapat mendekatkan diri dengan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alamsyah. Drs. Zuber Usman menjelaskan dalam bukunya, Kesusastraan Lama, bahwa dalam buku “ The Voyages of Sir Lancaster to the East Indies” ada menyebutkan bahwa Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani dapat memangku jabatan “Perdana Menteri” di Kerajaan Aceh itu. Abdus Samad al-Falimbani menjelaskan dalam bukunya “ Siyarus Salikin” bahwa disamping Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani menjabat sebagai Perdana Menteri di Aceh, beliau juga sebagai seorang Maha Guru, ahli politik, ahli syari’at dan hakikat. Beliau adalah seorang tokoh pujangga Indonesia yang kedua sesudah Syeikh Hamzah Fansuri.
Kariernya terus menanjak sampai ke puncak masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah IV Sayidil Mukamil dan di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alamsyah/Derma Wangsa. Dan dalam dua masa pemerintahan itu beliau dilantik menjadi “Qadhi Malikul Adil” orang kedua dalam kerajaan yang sekaligus menjadi “Ketua Balai Gading”.
            Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani dapat dikategorikan sebagai orang yang berfaham “Wahdatul Wujud”. Wahdatal-wujud berarti kesatuan wujud berarti kesatuan wujud, unity of existence Karya-karya beliau diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Jawahirul Haqaaiq.
2.      Tanbiihut Thullab fi Ma’rifati Malikil Wahhab.
3.      Risaalatu Baiyin Mulahazat Al-Muwahiddin alal Muhtadi fi Zikrillahi.
4.      Kitabul Haraqah.
5.      Nurud Daqaaiq
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi dan Karya Syeikh Samsyuddin As-Sumatrani
2.      Bagaimana Pemikiran Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani
Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Biografi dan Karya Syeikh Samsyuddin As-Sumatrani
2.      Untuk Mengetahui Pemikiran Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani
Metode Penelitian
1.      Heuristik
Tahap Heuristik merupakan kegiatan mencari sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah, atau evidensi sejarah. Yang mana merupakan tahapan awal dalam melakukan penelitian sejarah. Sumber di sini dibedakan menjadi dua yaitu sumber data primer yaitu berupa karyakarya asli Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani sendiri. Dan Sumber data sekunder yaitu kepustakaan yang berwujud buku-buku penunjang, jurnal dan karya-karya ilmiah lainnya yang masih relevan dengan pokok permasalahan yang menjadi kaitan dalam penelitian ini.
2.      Kritik
Kritik sumber adalah suatu usaha menganalisa, memisahkan dan mencari suatu sumber untuk memperoleh keabsahan sumber yang dibutuhkan. Dalam hal ini, dilakukan penyeleksian apakah data tersebut akurat atau tidak, baik dari segi bentuk maupun isinya sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
3.      Interpretasi
Setelah terpilih sumber-sumber yang akan dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan penelitian ini, penulis selanjutnya memberikan interpretasi terhadap fakta-fakta yang telah terkumpul sehingga dapat dijadikan sebagai sebuah susunan yang tersistematis.
Dalam interpretasi ini, penulis berusaha untuk bersikap netral tanpa memihak siapapun. Karena penelitian yang peneliti lakukan, didasarkan pada metode-metode yang bersifat objektif.
4.      Historiografi
Historiografi adalah proses penyusunan fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam bentuk penulisan sejarah.  Dalam tahap ini historiografi ini yaitu mencakup cara penulisan, pemaparan, atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.
Sistematika penulisan hasil penelitian ini terbagi ke dalam beberapa bagian yaitu:
BAB I, merupakan bab yang berisikan uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian.
BAB II, dalam bab ini menguraikan tentang Tinjauan Pustaka, mencakup penelitian terdahulu dan teori.
BAB III, dalam bab ini menjelaskan tentang perkembangan pemikiran Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani, dengan mencakup Biografi, Karya-karyanya dan pemikiran-pemikirannya.
BAB IV, bab ini merupakan bab akhir, penutup yang berisikan kesimpulan.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu tentang Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani yang dilakukan dan dikaji oleh para peneliti maupun praktisi pendidikan. Di antara penelitian terdahulu mengenai Syaikh Syamsuddin antara lain:
1.      Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA. Ia menulis buku “Tasawuf dan gerakan Tarekat” yang didalm bukunya membahas mengenai tokoh-tokoh dan pemikiran tasawuf di Indonesia diantaranya adalah Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani.
2.      Hawash Abdullah ia menulis buku “ Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh-tokohnya di Nusantara.
3.      Harun Nasution menulis Filsafat dan Mistisme dalam Islam
4.      Abdul Wahab Al-kamal dalam penelitiannya yang berupa skripsi yang berjudul “Sisi-Sisi Teori Martabat Tujuh Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani pada Emanasi Ibnu Sina”. Yang bahasannya mengenai ajaran dan pemikiran Syaih Syamsuddin As-Sumatrani.
5.      Rohaimi Rastam dalam penelitiannya yang berupa jurnal internasional Islam berjudul “Analisis Salasilah Tarekat Shaykh Shams al-Din al-Sumatra’i.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penulis lebih menitik beratkan pada ranah pemikiran yang tertulis dalam karya-karya Syaih Syamsuddin As-Sumatrani. Faham dan pemikiran Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani yaitu faham atau teori Martabat Tujuhnya. Yang mana faham itu banyak ditentang oleh masyarakat umum setelahnya bahkan ulama-ulama sekalipun. Penulis dalam penelit ian ini akan menjelaskan faham seperti apa yang dimaksud oleh Syaik Syamsuddin As-Sumatrani itu sendiri.
B.     Teori
Faham wahdatul wujud atau keesaan wujud merupakan faham yang popular disematkan pada Ibnu Arabi.  Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.     
Wahdatal-wujud berarti kesatuan wujud berarti kesatuan wujud, unity of existence. Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul, Muhi al-Din ibnu Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol, di tahun 1165 M. dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah oleh Ibnu al Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah sua aspek bagi setiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq. Kata-kata khalq dan haq merupakan sinonim dari al-ard (accident) dan al-jauhar (substance), dan dari al-zahir (lahir, luar) dan al-batin (batin, dalam).[1]
Menurut paham ini, tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.
Pemikiran ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaiman diterangkan dalam uraian hulul, ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat diri-Nya, ia melihat kepada alam. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena yang ada dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sini tibullah paham kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagaimana orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat diri-Nya. Dalam cermin itu diriNya kelihatan banyak, tetapi diri-Nya sebenarnya satu.  
Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, adalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

           


















BAB III
BIOGRAFI DAN KARYA
SYAIKH SYAMSUDDIN AL-SUMATRANI
A.    Biografi Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani
Beliau adalah seorang keturunan ulama, ayahnya bernama Abdullah As-Sumatrani. Dia mendapat pendidikan keshufian dari Syeikh Hamzah Al Fansuri dan kemudian dikatakan pernah belajar kepada Sunan Bonang di Jawa. Nampaknya Syaikh Syamsuddi As Sumatrani mendapat tempat pada posisi yang terbaik di Kerajaan Aceh, dia dapat mendekatkan diri dengan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.[2] Berkat dukungan Sultan, ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani menjadi corak Islam secara resmi di Aceh.
Syaikh Abdus Samad Al-Falimbani menulis dalam kitabnya yang berjudul “Siyarus Salikin” jilid III halaman 171 tentang kelengkapan nama Syaikh Syamsuddin ialah Al-Arif Billah As Syeikh Syamsuddin bin Abdullah As Sumatrani. Menurut Al-Falimbani bahwa salah satu kitab yang dikarang oleh Syeikh Syamsuddin bernama “ Jawahirul Haqaaiq” dan kitab yang berjudul “Tanbiihut Thullab fi Ma’rifati Malikil Wahhab” kandungan kedua kitab tersebut adalah mengupas ajaran Tasawuf dengan seni-seni yang tinggi tingkatnya. Jelaslah disamping beliau sebagai seorang Perdana Menteri di Aceh beliau juga sebagai seorang mahaguru, ahli politik, ahli syari’at dan haqiqat. Beliau adalah seorang tokoh pujangga Islam Indonesia yang kedua sesudah Syeikh Hamzah Fansuri.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Nama Syaikh Syamsuddin bahkan menanjak terus hingga ke puncaknya sampai masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah IV Sayidil Mukammil dan di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alamsyah/ Derma Wangsa. Dan dalam dua masa pemerintahan itu beliau dilantik menjadi “Qadhi Malikul Adil” orang kedua dalam kerajaan yang sekaligus menjadi “Ketua Balai Gading”.
Sebagaimana gurunya Syaikh Hamzah Fansuri beliau juga dikategorikan orang yang berfaham dengan “Wihdatul Wujud”/ “Pantheisme” yang sesat dan menyesatkan namun demikian tiadalah seorang pun yang dapat membendung kemasyhuran namanya. Syamsuddin Al Sumatrani menjadi perhatian banyak tokoh di zaman modern di antara orang Barat diantaranya C.A.O. Van Niewenhijze untuk mendapatkan gelar Ph. D di Universiti Leiden, karyanya yaitu “Samsul-din van Pasai”, “J. Brill, Leiden 1945.
Syeikh Syamsuddin Al- Sumatrani adalah seorang ulama besar yang disegani oleh kawan dan lawannya, namun ketika dia meninggal dunia Syeikh Nuruddin mencatatnya sebagai peringatan untuknya. Di dalam karyanya Bustanus Salatin ditulisnya:
“Pada masa itu wafatlah Syeikh Syamsuddin bin Abdullah Al Sumatrani yaitu pada malam senin 12 hari bulan Rajab pada Hijrah 1039 tahun. Bahwa Syaikh itu alim pada segala ilmu dan ialah yang termasyhur pengetahuannya pada ilmu tasawuf dan beberapa kitab yang dita’lifkannya.” A. Hasjim menyebut bahwa 1039 itu bersamaan dengan tahun 1630 M masih masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (I) akan tetapi Drs. Liaw Yock Fang menulis bahwa Syaikh Nuruddin Ar Raniri dalam bukunya Bustanus Salatin menceritakan Syeikh Syamsuddin meninggal dunia pada tahun 1661, sejurus selepas angkatan laut dikalahkan di Malaka.
B.     Karya-Karya Syeikh Syamsuddin Al Sumatrani
Syeikh Syamsuddin Al Sumatrani mengembangkan ajaran atau konsep “Martabat Tujuh” dari ajaran kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruhi al Nabi karya Muhammad Ibn Fadhillah, seorang ulama sufi Gujarat yang wafat tahun 1620.
Konsep ajaran Martabat Tujuh adalah merupakan pengembangan dari konsep tajalli Ibn Arabi.[3] Dasar pikirannya adalah mengarah pada faham Union-Mistik (Manunggaling Kawula Gusti atau kesatuan manusia dengan tuhan). Intinya adalah ajaran bahwa alam semesta termasuk di dalamnya manusia merupakan tajalli (penampakan luar) dari hakikat Tuhan yangbbersifat mutlak, sebanyak tujuh martabat, yakni:
a.       Martabat Ahadiyah
Martabat pertama adalah martabat Ahadiyyah (keadaan Dzât Yang Esa). Pada martabat ini Dzat itu mutlak, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai hubungan dengan apapun, sehingga orang tidak dapat mengetahui-Nya. Satu-satunya nama yang diberikan kepada Dzât yang mutlak itu adalah Huwa. Oleh karena itu, Tuhan ditempatkan pada tempat yang tidak nyata, sehingga disebu dengan istilah lâ ta’ayyun (kenyataan yang tidak nyata). Tuhan adalah Azali (tidak berawal) dan Abadi (tidak berakhir)
b.      Wahdah
Martabat kedua adalah martabat Wahdah (keadaan sifat yang memiliki keesaan). Pada martabat ini, Dzat tersebut dinamakan Allah dan bertajalli dalam sifat-sifat yang disebut a’yan tsâbitah (kenyataan yang terpendam, kenyataan yang tetap). Sifat-sifat tersebut adalah Ilmu, Wujūd, Syuhūd, dan Nūr. Pada tahap ini Dzat yang Mutlak lagi Esa itu didalam diri-Nya mengandung semacam kejamakan akali dalam bentuk sifat-sifat tersebut.
c.       Wahdiyah
Martabat ketiga adalah martabat Wahidiyyah (keadaan asma yang meliputi hakikat realitas keesaan). Pada tahap ini, segala sesuatu yang tependam itu sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, tetapi belum muncul dalam kenyataan. Perpindahan sesuatu yang terpendam ke dunia, gejala ini tidak dapat dengan sendirinya, tetapi ia memerlukan firman Tuhan yang berbunyi kun fa yakūn (jadilah, maka menjadilah).
d.      Alam Arwah
Martabat keempat adalah martabat Alam Arwah. Pada tahap ini, kenyataan yang terpendam (kenyataan yang tetap) mengalir ke luar mengambil bentuk alam arwah. Hakikat alam ini adalah satu aspek saja yang terbagi ke dalam ruh manusia, ruh hewan, dan ruh tumbuh-tumbuhan. Pada tahap ini, Tuhan keluar dari kandungan-Nya dari a’yân tsâbitah ke a’yân khârijiyyah (kenyataan yang ada di luar) atau disebut ta’ayyun tsâlits (kenyataan ketiga).
e.       Alam Mitsal
Martabat kelima martabat Alam Mitsâl. Tahap ini merupakan alam ide dan merupakan perbatasan antara alam arwah dan alam jisim. Alam mitsâl merupakan alam yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia. Sudah menjadi alam yang tersusun, tidak dapat dipisah-pisah, dan menjadi satu kesatuan.
f.       Alam Ajsam
Martabat keenam adalah martabat Alam ajsâm (alam benda). Tahap ini merupakan tahap anasir yang halus dan disebut juga dengan istilah ta’ayyun al-khâmis (kenyataan kelima). Alam ajsâm merupakan alam yang sudah tersusun dan dapat dipisah-pisah karena sudah menjadi alam kebendaan.
g.      Alam Insan (Alam Manusia)
Martabat ketujuh adalah martabat Alam insân (manusia), disebut juga martabat yang menghimpun (martabah jâmi’ah), karena menghimpun martabat jasmani, nurani, wahdah, dan wâhidiyah, dan ia adalah tajalli atau selubung akhir. Dengan kata lain, alam insân menjadi muara dari tiga martabat ketuhanan dan empat martabat kehambaan, karena pada alam insân terkumpul martabat ahadiyah, wahdah, dan wâhidiyyah, juga terdapat alam arwah, alam mitsâl, alam ajsâm, serta alam insân itu sendiri, yaitu pada hati (qalb) manusia sebagai lokus dari semua martabat.
Mengenai usaha penulisan ilmiah Syeikh Syamsuddin Al Sumatrani lebih giat daripada gurunya Syeikh Hamzah Fansuri. Karangannya ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Arab dan bahasa Melayu. Diantara karangannya itu ada yang memakai As Sumatrani daja tanpa memakai namsebenarnya (Syeikh Syamsuddin). Karya-karya beliau yang ditulis denga bahasa Arab diantaranya:[4]
a.       Jawahirul Haqaaiq.
b.      Tanbiihut Thullab fi Ma’rifati Malikil Wahhab.
c.       Risalatu Baiyin Mulahazat Al-Muwahhidiin ‘ala Muhtadi fi Zikrillahi.
d.      Kitabul Harakah.
e.       Nurud Daqaaiq.
Yang berbahasa melayu diantaranya:
a.       Mir’aatul liman.
b.      Mir’ aatul mu’miniin.
c.       Mir’ aatul Haqiqah.
d.      Mir’ aatul Muhaqqiqiin.
e.       Syarah Mir’aatul Quluub.
f.       Zikru Daairati Qaaba Qausaini aw Adna.
g.      Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri
Karya-karya lainnya diantaranya:
a.       Nurul Haqaaiq.
b.      Kitab Tazyim.
c.       Syarbul Arifin.
d.      Kitabul Martabah.
e.       Risaalatul Wahhab.
f.       Tanbiihullah.
g.      Risaalatul Wahdah.
Diantara karangan Syeikh Syamsuddin Al Sumatrani ialah kitab Tnbiihut Thullab didalamnya menjelaskan sesungguhnya sebaik-baiknya zikir yang dipilih pada jalan kepada Allah ialah lafadz “LaailaahaillaAllah” pada kalimat itu terdapat perkara menafikan yang lain daripada Allah dan menitsbatkan Allah taala. Zikir itu terbagi atas dua bagian: zikir haqiqi dan zikir yang tak haqiqi. Adapun zikir yang haqiqi itu ialah “Syuhudul Haq Allah Taala” dengan pandangan hati di dunia ini. Adapun zikir yang tak haqiqi itu terbagi pula atas dua pembagian, yaitu:
“zikir yang nyata” dan “zikir yang tersembunyi.” Zikir yang nyata atau jail ialah yang diucapkan dengan lisan. Zikir yang tersembunyi atau khafi ialah memelihara maknanya pada hati. Bahwa dia adalah tempat bagi mudyahadahnya kepada Allah taala.hati itu menyangkut atas dua pengertian yaitu daging shanubari, satu bentuk yang diam cenderung sebelah kiri dada. Kedua halus ketuhanan yang rohani yang mempunyai pertalian dengan hati tadi. Dialah yang dinamakan haqiqi kemanusiaan, bahwa dia adalah roh manusia, bahwa dia adalah tempat musyahadah kepada Tuhannya.
Demikian diantara kandungan kitab Tanbiihut Thullab. Di bagian tepinya diberi keterangan yang dikaatakan dipetik dari kitab “Al Barkatus Sailaniyah.” Pengarangnya tidak menyebutkan namanya, mungkin catatan itu dibuat oleh Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Diantara kandungan bagian tepinya terjemahan bebasnya sebagai berikut: “berkata sebagian Arifin golongan yang ahli dalam ilmu ini ialah “zikir itu terbagi tiga macam ialah:
1.      Dinamakan zikir nafi dan itsbat, yaitu mengatakan Laa ilaa ha Ilallah atau zikir lisan.
2.      Dinamakan zikir asal dan kebesaran yaitu mengatakan Allah-Allah atau zikir hati(qalbi).
3.      Dinamakan zikir isyarat dan nafas dia ialah zikir Huwa-Huwa atau zikir sir (rahasia)  .
Antara kitab Tanbiihut Thullab dengan Al-Barakatus Sailaniyah banyak bersamaan maksudnya. Hanya bahasanya saja yang selalu terjadi perbedaan satu dengan yang lainnya. Karangan-karangan shufi Syeikh Syamsuddin Al Sumatrani juga banyak persamaannya dengan kitab “Tuhfatul Marsalah” karangan Syeikh Muhammad Fadhlullah Burhanpuri Al-Hindi. Kitab Tuhfatul Marsalah adalah merupakan syarahan dari sebuah kitab Shufi karangan Allamah Syeikh Abdul Ghani an Nablusi. Syeikh Abdus Samad Al-falimbani dalam penyusunan kitabnya Siyarus Salikin kitab Tuhfatul Mursalah termasuk kitab sebagai kajiannya. Beliau menjelaskan bahwa yang penting itu pernah disyarah oleh Maulana Syeikh Ibrahim Al Kurani. Semua kitab-kitab itu membahas mengeni “Martabat Tujuh,” yang dalam hal ini Syeikh Abdus Somad Al Falimbani menilainya menilainya sebagai ilmu tasawuf yang sangat tinggi kadarnya tiada dapat dikaji oleh golongan awam.  










BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani adalah seorang keturunan ulama, ayahnya bernama Abdullah As-Sumatrani. Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan tokoh yang cukup berpengaruh di kalangan istana Kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 M, dan menjadi qadhi kerajaan. Ia diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1603-1636 M).
Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani dapat dikategorikan sebagai orang yang berfaham “Wahdatul Wujud”. Wahdatal-wujud berarti kesatuan wujud berarti kesatuan wujud, unity of existenc. Menurut paham ini, tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.
Syeikh Syamsuddin Al Sumatrani mengembangkan ajaran atau konsep “Martabat Tujuh” dari ajaran kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruhi al Nabi karya Muhammad Ibn Fadhillah, seorang ula ma sufi Gujarat yang wafat tahun 1620 M.



[1] Nasution, harun., Filsafat dan Mistisme dalam Islam,hal.75 Jakarta: Bulan Bintang, 2014
[2] Abdullah, Hawash Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara.,hal.40 Surabaya: Al-Ikhlas
[3] Bakhtiar, Amsal., Tasawuf dan Gerakan Tarekat., hal.7 Bandung: Angkasa, 2003.
[4] Abdullah, Hawash Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara.,hal.42 Surabaya: Al-Ikhlas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasionalisme Islamisme dan Marxisme Soekarno