Peran Tarekat dalam Gerakan Kemerdekaan di Indonesia

“Peran Tarekat dalam Gerakan Kemerdekaan di indonesia”

 

 

Image result for tarekat dan tasawuf di Indonesia

 

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
      Menurut Zamaksyari Dhofier, keberadaan tarekat memiliki peranan yang sangat efektif bagi penyebaran Islam. Hampir sebagian besar penyebar Islam adalah juga pemimpin tarekat. Menurut Dr. Ading Kusdiana peranan tarekat lebih dari sebagai penyebaran Islam, tapi juga menjadi pendongkrak efektivitas dakwah Islam.[1] Dengan kata lain tarekat merupakan instrumen organiasasi yang sangat penting. Kehadirannya menjadi alat pengikat yang sangat kuat untuk mempersatukan masyarakat Muslim. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan tarekat khususnya pada masa kolonial Belanda, sangat ditakuti oleh para kolonial Belanda. Karena itu, pemerintah klonial Belanda senantiasaberupaya mencurigai dan mengawasi keberadaan tarekat.
      Para pemimpin Belanda, sudah sejak lama mewaspadai gerakan perlawanan dari kelompok tarekat. Menurut mereka, hal yang paling berbahaya adalah para penyebar persaudaraan Islam yang dikenal dengan nama tarekat. Ia meyakini, gerakan tarekat bisa digunakan sebagai basis pembangunan kekuatan untuk memberontak Belanda.
      Perlu dikemukakan pula, bahwa kemunculan jaringan antar pesantren melalui hubungan tarekat, baik tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah maupun tarekat Tijaniyah, berperan besar dalam peningkatan dan perbaikan kehidupan keagamaan masyarakat khususnya masyarakat Periangan.
      Gerakan keagamaan kaum tarekkat yang berbasis di pesantren berkembang dengan baik tidak terlepas dari usaha mursyid-mursyid tarekat. Di sisi lain, tarekat dapat diterima oleh masyarakat karena ajaran tarekat sangat adaptif dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaaman, serta perubahantingkat kebutuhan spiritualitas masyarakat.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan Islam pada masa pemerintah kolonial Belanda?
2.      Bagaimana peranan ulama tarekat dalam memperjuangkan kemerdekaan ?
3.      Bagaimana proses perlawanan ulama tarekat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia?
C.     Tujuan
1.      Menjelaskan Islam pada masa kolonial Belanda
2.      Menjelaskan peranan ulama tarekat dalam memperjuangkan kemerdekaan.
3.      Menyebutkan kasus-kasus perlawanan ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.












PEMBAHASAN
A.    Islam Pada Era Pemerintah Kolonial Belanda
1.      Desakralisasi Ruh Jihad Islam
      Abad ke-19 dan abad ke-20 dikenal sebagai puncaknya abad imperialisme. Abad ini merupakan masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang bernafsu dan berambisi untuk membentuk kekaisaran.[2] Perancis dan negara-negara lainnya menyebar di wilayah Asia dan Afrika. Mereka berusaha mengancam negara-negara merdeka untuk dijadikan provinsi Eropa.
      Tidak hanya Inggris di Hindia Belanda, Belanda juga sudah menyusun rencana untuk memulai politik ekspansinya jauh sebelum itu, tepatnya sejak kedatangan mereka pada 1595 M yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Kedatangan de Houtman ini kemudian dilanjutkan oleh kesiapan mereka untuk mendirikan VOC pada abad ke-17 dan 18 M.
      Secara umum, tujuan dari praktek imperialisme-kolonialisme yang dilakukan oleh  negara-negara Eropa itu adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari tanah jajahan dengan cara menguasai dan mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam.
      Di Hindia-Belanda, kolonialisme Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya beragama Islam. Lalu timbulnya berbagai bentuk perlawanan seperti Perang Padri (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903), bagaimanapun tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan ajaran Islam.
      Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada 1889, pemerintah Hindia-Belanda mempunyai kebijakanyang jelas mengenai masalah Islam. Hal ini dilakukan untuk melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam. Sebagai negara kolonialis, Belanda memerlukan inlandsch polietiek, yakni kebijakan mengenai pribumi dengan tujuan untuk memahami dan menguasai pribumi.
      Dengan menampilkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje dengan licik berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian Muslim itu. Dalam menghadapi medan seperti ini, Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam arti ibadah dengan Islaam sebagai kekuatan sosial politik.
      Tentang hal-hal yang berkaitan dengan bidang agama murni, dijelaskan olehnya bahwa pemerintah kolonial Belanda seharusnya tidak menyinggung dogma atau ibadah murni agama Islam. Sebab, dogma ini tidak berbahaya bagi pemerintah. Menurut Snouck Hurgronje, di kalangan umat Islam akan terjadi perubahan secara perlahan-lahan untuk meninggalkan agama ini. Setiap campur tangan pemerintah, akan memperlambat proses  evolusi tersebut. Lagi pula, tindakan seperti itu sangatberlawanan dengan asas kemerdekaan dalam beragama.
      Mengenai bidang kemasyarakatan, usaha untuk membawa masyarakat Indonesia menuju asosiasi dengan masyarakat Belanda, agaknya tidak terlepas dari tujuan pemeliharaan ketertiban keamanan di bawah kekuasaan Belanda. Politik asosiasi ini bertujuan untuk mempererat ikatan antara negara jajahan dan negara penjajahnya melalui kebudayaan, dimana lapangan pendidikan menjadi garapan utamanya.
      Usaha memperkuat ikatan ini sebenarnya tidak terlepas dari kaitan usaha untuk memperkokoh eksitensi penjajah itu sendiri. Snouck Hurgronje berkali-kali menyatakan bahwa fondasi kerajaan Belanda harus diperkokoh oleh asosiasi masyarakat pribumi dengan masyarakat Belanda. Dengan mengabulkan keinginan orang-orang pribumi untuk memperoleh pendidikan, itu akan menjamin loyalitas mereka. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah Belanda harus menempatkan dan memfungsikan dirinya sebagai wali. Dengan berfungsi sebagai wali inilah yang mewajibkan Belanda untuk mendidik penduduk pribumi.
2.      Merubah Model Pendidikan dengan Menafikan Pendidikan Pesantren
      Sebelum masa kolonisasi, di Nusantara sudah memiliki sistem pendidikanyang menitik-beratkan pada pendidikan membaca Al-Qur’an, pelaksanaan shalat, dan pelajaran tentang kewajiban-kewajiban pokok agama. Pendidikan ini mengambiltempat di rumah imam masjid atau anggota masyarakat Islam yang shaleh lainnya.
      Pendidikan semacam itu dinamakan pesantren. Pesantren adalah sekolahan monastic dimana murid-murid sejak umur sekitar sepuluh sampai tiga puluh tahun lebih diajar olehseorang guru atau kiyai. Pesantrn yang ada di bawah pengawasan dan kepemimpinan kiyai dapat berkembang menjadi sebuah sekolah yang besar dengan ribuan sntri.
      Kouchenius, menteri untuk koloni pertama yang berasaldari politik kristen, menolak ide ppemberian subsidi untuk sekolah-sekolah Islam. Ia juga mempertanyakan tentang sunbangan finansial yang diharuskan untuk kepentingan sekolah-sekolah tersebut. Menurutnya, sumbangan itu hanya akan mengarah pada peningkatan tipe pendidikan agama yang sudah barang tentu hanya sedikit untungnya bagi kekuasaan Belanda.
      Ketidakmauan pemerintah Belanda memajukan pendidikan rakyat ini sangat bisadimaklumi. Sebab, pemerintah Hindia-Belanda masih mendambakan keberlangsungan praktek penjajahan yang dilakukan terhadap kepulauan Nusantara.
      Pemerintahan Hindia Belanda menyadari bahwa pendidikan Islam  seperti pesantern, hanya akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan Hindia-Belanda yang berlaku. Itulah sebabnya penerapan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tidak akan terlepas dari pola politik penjajahannya.
B.     Peranan Ulama Tarekat dalam Memperjuangkan kemerdekaan.
      Menurut Dr. Ading Kusdiana keberadaan tarekat tidak hanya efektif untuk penyebaran Islam, tapi juga menjadi pendongkrak efektivitas dakwah Islam.[3] Dengan kata lain tarekat merupakan instrumen “organisasi” yang sangat penting. Kehadirannya menjadi alat pengikatyang sangat kuat yntuk mempersatukan masyarakat Muslim. Keberadaan tarekat khususnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda sangat ditakuti dan senantiasa dicurigai dan diawasi oleh Belanda. Karena pada periode ini ada berbagai pemberontakan atau perlawanan yang dimotori oleh para pemimpin terekat.
      Rasa khawatir pemerintah kolonial Belanda terhadap tarekat tampak jelas pada peristiwa Cianjur-Sukabumi yang terjadi pada 1885, peristiwa Cilegon dan peristiwa Garut 1919. Bahkan, Holle pun memperingatkan tentang adanya fanatisme di kalangan para bupati dan fungsionaris agama yang diangkat secara resmi. Dalam hal ini, Holle menganggap bahwa para haji dan guru-guru agama adalah bahaya terbesar yang dimiliki oleh Islam.
      Pengaruh tarekat sangatlah besar dan berkembang dengan pesat sehingga telah menimbulkan kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda. Ini terjadi karena pada akhir abad ke-19, para penganut tarekat telah mengambil peran politik yang sangat penting dalam gerakan perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, peran tarekat telah menjelma menjadi sebuah jaringan kordinasi dan komunikasi anti kolonial yang sangat kokoh. Mereka mampu membangun pesantren dan mengajarkan agama yang pragmatikal kepada parapetani sehingga Islam dapat berkembang dalam suasana dialog dan integrasi yang sangat baik.
      Sejak 1850 tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syatariyah, dan Tijaniyah di pulau Jawa khususnya, telah berhasil menarik sejumlah pengikut dari kalangan kelompoksosial dan politik kelas atas. Pada 1886, tarekat Naqsabandiyah berkembang di Cianjur. Di daerah ini, hampir sebagian kaum besar kaum menak telah bergabung dengan tarekat Naqsabandiyah.
      Menurut Holle, di Priangan terdapat sejumlah bupati dan penghulu yang diduga telah menjadi pengikut tarekat ini. Penghulu Cianjur digambarkansebagaisebagai tokoh yang sangat fanatik dan anti-Eropa.
      Kemunculan jaringan antar pesntren melalui hubungan tarekat, baik tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah maupun tareekat Tijaniyah, berperan besar dalam peningkatan dan dan perbaikan kehidupan masyarakat. Gerakan keagamaan kaum tarekat yang berbasis di pesantren berkembang sengan baik tidak terlepas dari usaha guru tarekat. Di sisi lain tarekat dapat diterima oleh masyarakat karena ajaran tarekat sangat adaptif dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, serta perubahan tingkat kebutuhan spiritualitas masyarakat.
C.     Pemberontakan dan Perlawanan Pesantren dan Ulama Tarekat dalam Mengusir Penjajah  
      Pesantren dan ulama memiliki peran yang sangat strategis dalam usaha menanamkan nilai-nilaikesadaran nasional, sekaligus menjadi “tempat dan basis” kegiatan perlawanan menentang praktek imperialisme Belanda dan Jepang. Sejak awal abad ke-19 sampai dengan dekade keempat abad ke-20, tepatnya pada masa pergerakan kalangan ulama, pesantren berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai berbangsa. Peranan pesantren itu terus berlanjut hingga periode pergerakan nasional.
Contoh-contoh kasus pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan oleh ulama dan para santri diantaranya
1.      Pesantren Bojong Melati Tarogong Garut (Kyai Mustafa Kamil)
      Kyai Mustofa Kamil aktif dalam pergerakan dan perjuangan menentang penjajah. Kyai Mustofa kamil dikenal sangat berani dalam menentang berbagai aturan pemerintah Hindia-belanda dan pemerintah pendudukan Jepang. Menurut pendapatnya, Belanda dan Jepang sama-sama penjajah yang menyengsarakan rakyat. Mereka harus dilawan dan diusir.
      Makaketika Bung tomo mengumandangkan jihad untuk melawan sekutu, Kyai Mustofa Kamil pergi ke Surabaya bersama anggota laskar rakyat untuk bergabung dalam pertempuran itu.
2.      Perjuangan pesantren Cipasung dan Sukamanah
      Pesantren Sukamanah memiliki jaringan dengan pesantren Cipasung dalam hal perjuangan menentang penjajah. Sebab Kyai Zainal Mustafa dari pesantren Sukamanah dan Kyai Ruhiyat dari pesantren Cipasung keduanya pernah sama-sama dipenjara karena sikap penentangannya terhadap Belanda
      Pada 17 November 1941, Kyai Ruhiyat ditangkapatas tuduhan menghasut rakyat. Ia ditahan bersama kyai Zainal Mustafa di penjara Sukamiskin. Keduanya baru dibebaskan pada10 Januari 1942. Kurang dari satu bulan setengah, Kyai Zainal Mustafa dan Kyai Ruhiyat tetap melakukakan pertentangan dan perlawanan terhadap semua kebijakan pemerintah Belanda. Karena aktivitas itu, bersama puluhan Kyai lainnya, ia dijebloskan kembali ke penjara Ciamis pada akhir Febuarai 1942.
      Menuurut pemerintah Hindia-belanda, penangkapan dan penahanan tersebut dilakukan karena pemerintah merassa takut jika pesantren Cipasung dan pesantren Sukamanah mengalami kemajuan hingga membangkitkan semangat melawan pemerintah. Para pemimpin Belanda menganggap bahwa pengajian seringkali dijadikan sebagai sarana perkumpulan orang dalam rangka menyusun kekuatan rakyat untuk melawan pemerintah Belanda. Karena kedua pemimpin ini dinilai telah menghasut rakyat untuk bersikap anti penjajah dan dianggap dapat mengganggu stabilitas pemerintah, langkah terbaik adalah melakukan penangkapan atas mereka.
      Inilah jaringan perjuangan antara pesantren Sukamanah dan pesantren Cipasung dalam menentang pemerintah Hindia-Belanda. Oleh Kyai Zainal Mustafa, pesantren Sukamanah diorientasikan sebagai wadah gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda secara fisik. Sedangkan pesantren Cipasung oleh Kyai Ruhiyat dijadikan sebagai wadah gerakan pendidikan. Dua orientasi yang berbeda ini, pada dasarnya hanyalah strategi untuk melawan setiap bentuk penjajahan.
      Pada masa pemerintahan Jepang tindakan heroik kembali ditunjukan dengan nyata oleh Kyai Zaenal Mustofa dari pesantren Sukamanah. Kyai Zaenal Mustofa telah melakukan gerakan gerakan perlawanan terhadap pemerintah Jepang. Ia rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan agama dan tanah air. Pada 25 Februari 1944, terjadilah Pertempuran Sukamanah. Dalam pertempuran itu, dari pihak santri, sebanyak 86 orang gugur sebagai syuhada di jalan Allah. Sedangkan Kyai Zaenal Mustofa ditangkap dan kemudian dipenjarakan di Tasikmalaya. Karena alasan keamanan, Kyai Zaenal Mustofa kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung. Tak lama kemudian, Kyai Zaenal Mustofa dipindahkan lagi ke penjara Cipinang, Jakarta. Terakhir, Kyai Zaenal Mustofa menjalani hukuman mati pada 25 Oktober 1944, dan dimakamkan di Taman Pahlawan, Ancol Jakarta.
D.    Jaringan Pesantren
      Sejak kemunculangelombang pertama proses pengislaman, pesantren merupakan wadah yang sangat pentinguntuk memperdalam ajaran islam. Seiring dengan maraknya kemunculan gerakan perlawanan dan pemberontakan yang dimotori oleh para pimpinan agama, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan dan pendidikan masyarakat pribumi, termasuk mengawasi keberadaan pesantren.
      Kebijakan politik keagamaan yang diberlakuakan pemerintah kolonial Belanda sangat merugikankepentingan umat Islam. Tetapi kebijakan itu tidak mematikan semangat para kyai untuk berjihad. Lalu, mereka membentuk gerakan perlawanan melalui kelompok. Karena mereka tidak memilikikekuatan senjata, cara terbaik adalah membangun institusi pendidikan bernama pesantren.
      Peran pesantren tidak hanya menjadi lembaga pendidikan agama, tetapi juga menjadi tempat bagi kegiatan kaderisasi pimpinan agama. Lebih tegasnya, pesantren merupakan lembaga yang sangat penting dalam upaya pembentukan pola kehidupan sosial, budaya, dan agama masyarakat islam. Tak dapat dipungkiri bahwapesantren sebenarnya mampu membangun dasar-dasar organnisasi yang kuat. Pesantrenjuga diyakini dapat memberikan kekuatan pokok dari sisi kegiatan dan tindakan politik. Ditunjang oleh ikatan emosional yang kuat antara kyai dan santri yang terbentuk dalam pesantren merupakanlandasan yang sangat efektif dan inti bagi terbentuknya solidaritas. Jadi melalui pesantren, jaringan kerjasama. Perluasan ideologi, dan semangat menegakan agama terbangun dengan sendirinya.














SIMPULAN
      Keberadaan tarekat tidak hanya efektif untuk penyebaran Islam, tapi juga menjadi pendongkrak efektivitas dakwah Islam.  Dengan kata lain tarekat merupakan instrumen “organisasi” yang sangat penting. Kehadirannya menjadi alat pengikatyang sangat kuat yntuk mempersatukan masyarakat Muslim. Keberadaan tarekat khususnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda sangat ditakuti dan senantiasa dicurigai dan diawasi oleh Belanda. Karena pada periode ini ada berbagai pemberontakan atau perlawanan yang dimotori oleh para pemimpin terekat.
      Rasa khawatir pemerintah kolonial Belanda terhadap tarekat tampak jelas pada peristiwa Cianjur-Sukabumi yang terjadi pada 1885, peristiwa Cilegon dan peristiwa Garut 1919. Bahkan, Holle pun memperingatkan tentang adanya fanatisme di kalangan para bupati dan fungsionaris agama yang diangkat secara resmi. Dalam hal ini, Holle menganggap bahwa para haji dan guru-guru agama adalah bahaya terbesar yang dimiliki oleh Islam.
      Kemunculan jaringan antar pesntren melalui hubungan tarekat, baik tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah maupun tareekat Tijaniyah, berperan besar dalam peningkatan dan dan perbaikan kehidupan masyarakat. Gerakan keagamaan kaum tarekat yang berbasis di pesantren berkembang sengan baik tidak terlepas dari usaha guru tarekat. Di sisi lain tarekat dapat diterima oleh masyarakat karena ajaran tarekat sangat adaptif dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, serta perubahan tingkat kebutuhan spiritualitas masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Kusdiana, Ading., Sejarah Pesantren, Humaniora, 2014 Bandung.
Ansari, Antara Sufisme dan Syari’ah, 1990, Jakarta.
Gullen, Fethullah Tasawuf Untuk Kita Semua, Republika Penerbit, 2014, Jakarta.
Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, 1973, Jakarta.
Nurulhaq, Dadan Ilmu Akhlak/Tasawuf, Kati Berkat Press, 2010, Bandung.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Pers, 2002, Jakarta.



[1] Ading Kusdiana, Sejarah Pesantren, hal. 253, 2014, Bandung
[2] Ading Kusdiana, Sejarah Pesantren, hal. 57, 2014, Bandung.
[3] Ibid Sejarah Pesantren, hal. 253, 2014, Bandung.
 

Komentar

  1. hehe makasih Umii.
    sayang soalnya tugas kuliah semester kemaren cuma jadi penghuni local disk D saja wkwk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

biografi dan karya Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani

Nasionalisme Islamisme dan Marxisme Soekarno