MENATAP 22 MEI: HASIL PESTA DEMOKRASI




Kini negeriku sedang menghadapi titik genting menyoal permasalahan politik yang terjadi. Kami selaku masyarakat kelas rendah atau kau bisa sebut manusia Indonesia kebanyakan yang tak tahu menahu tentang bagaimana kotor atau seberapa banyak untug yang bisa diperoleh dari para pelaku politik, hanya bisa dibuat bingung oleh berita-berita yang tersebar di media masa yang setiap harinya menayangkan gambaran dari para wakil kami yang duduk di kursi-kursi elit sebagai pemangku kebijakan. Mata dan telinga kami tak henti-hentinya dibuat panas dan resah melihat perlakuan mereka yang lebih banyak mengecewakan daripada prestasi yang diwujudkannya. Para aparat negara justru saling bertikai satu sama lainnya karena berbeda haluan politik atau tujuan yang ingin diraihnya. Tentu saja aku pikir kepentingan-kepentingan yang mereka perjuangkan sebatas kepentingan individu dan golong dalam hal ini kepentingan partai politik yang mereka bawa. Karena toh kalaupun memang kepentingan rakyat umum Indonesia yang mereka perjuangkan, tentu mereka tidak akan saling sikut dalam menjalankan roda kepemerintahan ini. yan terjadi justru menghalalkan segala cara agar dapat berkuasa.

Keadaan seperti ini, Yudi Latif memiliki opini yang indah sekaligus miris kala kita pahami dan renungi, "menghadirkan para penyelenggara negara di kedalaman perenungan, yang akan tersimpul adalah kemasgyulan. Mengapa republik yang didirikan oleh para pelopor mulia bisa jatuh ke genggaman tangan-tangan yang "hina"?"[1]

Dalam persoalan yang demikaian rumit seperti ini, tentunya kalangan intelektual sangat dibutuhkan. Keilmuan mereka harusnya memberikan jawaban-jawaban bagi khalayak awam bagaimana seharusnya mereka bertindak menghadapi realitas yang dihadapinya. Namun ada kekecewaan yang aku rasakan tatkala sekelas kalangan para intelektual pun justru menggiring opini masyarakat pada salah satu pihak tertentu yang imbasnya tentu bukan yang kita harapkan, yakni "disintegrasi suatu bangsa," atau minimal salah satu diantara kita akan membenci yang lainnya hanya karena beda apa yang dipilih.

Semua keresahan-keresahan politik ini kita rasakan sebelum penyelenggaraan pemilu April kemarin, dimana sejak dimulainya kampanye pun, yang muncul kepermukaan justru saling hina dan saling menjatuhkan antar satu sama lain dari para simpatisan dan tim sukses masing-masing partai politik. Jarang kita lihat rasa saling menghargai saat berbeda pilihan di kalangan masyarakat tatkala sudah masuk dalam ranah-ranah obrolan politik. Bahkan yang dirasa justru ketidaknyamanan berbicara mengenai kenegaraan  justru disaat moment yang sering diistilahkan dengan hajat rakyat yakni pesta demokrasi tersebut. Dan suasana tidak nyaman itu terus berlanjut hingga sekarang saat sudah selesai terselenggaranya pemilu. Seperti tuduhan-tudahan kecurangan selama penyelenggaraan pemilu dan di lain pihak pun tidak mau kalah melaporkan sebaliknya. Lapor saling melaporkan pun terjadi. Yang lebih miris yakni saling klaim kemenangan antar satu sama lainnya, mereka mengandalkan quiccount yang mereka miliki masing-masing, dan tentu saja dapat ditebak pada akhirnya masing-masing dari mereka mengaku paling benar dan paling real penghitungannya. Walau sebenarnya pengumuman yang resmi baru akan diumumkan oleh pihak KPU 22 Mei nanti.

Dan diakhir, tulisan ini mengajak mari perbaiki hubungan kita sesama manusia Indonesia untuk tetap berintegrasi dan meghargai nilai-nilai luhur kebangsaan kita. Tanpa ada pecah belah, permusuhan ataupun kebencian hanya karena beda jalan yang kita tempuh dalam mencaapai kemajuan negeri kita tercinta, Indonesia. Kita hargai keputusan bersama esok hari terlebih akan bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan di Bulan Hijriyah, semoa Tuhan memberkahi. apapun hasilnya kita tetap bersaudara hehehe.

Bandung, Kostan Cinunuk 19 Mei 2019


[1] Yudi Latif, Yudistira, Kumba Karna dan Bung Hatta, hal. 115, Bandung: Sega Arsy, 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

biografi dan karya Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani

Nasionalisme Islamisme dan Marxisme Soekarno